Sabtu, 02 Maret 2013

Setelah Kau Menikahiku 4

“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan
memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”

Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak
setiap pagi.”

“Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu.”

“Jangan,” Idan menggeleng.

“Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”

“Jadi?”

Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?”
pintanya.“Aku punya rice cooker.”

Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah
permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya?
Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya
jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.

“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”

Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin
merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di
dinding dapur.

“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah
keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.


“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya.

“Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”

Dahiku berkerut. “Untuk apa?”

“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”

Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku
sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”

“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”

“Kau kedengaran seperti diktator.”

“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”

“Itu terlalu banyak untukku.”

Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa
kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah
membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.

“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak
punya hak untuk mengaturku seperti itu.”

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih.
Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap.
“Baik. Kalau itu maumu” desisnya kemudian.

Setelah Kau Menikahiku -Bagian 2

Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati.
“Pit, aku tahu ini akan
kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa
menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras
laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”
Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik
seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata
kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.

“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting,
jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”

Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama
puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam
lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak
berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku,
sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari
depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia
yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.

“Ya. Aku percaya kepadamu.”

“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk
kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat
terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”

“Idan! ” potongku tandas. “Ide apa?”

“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. 
“Kita akan
melakukan pernikahan.”

“Apa?”

“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan
semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”

“Bulan madu?”

Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam,

”Simulasi”.

Sekali lagi, simulasi. 

Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu
berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa
yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita
bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau
ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa
cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk
melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa
penalti. Bagaimana?”

“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”

“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan
mantap.

“Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar
seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh
menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku,
yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh
pendirian….”

“Serius, Idan, serius!”

“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan
mengalami kerugian apa pun.”

“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”

“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.




Setelah Kau Menikahiku - Bagian 1

Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk
membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi
pernikahan.

"Ku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?”

Aku mengangguk cemberut.

“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.

“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke
kamar.”

Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.

“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan
alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi
ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah
pada usia tiga puluh tiga.”

“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”
komentarku.

Alis Idan terangkat. “Kenapa?”

“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”

“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”

“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya
kesulitan?”

“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara
keuntungannya lebih banyak?”

“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu
tentang keuntungan menikah.”

“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh
lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”

“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup
pelik tanpa perlu lagi menikah?”

Idan tersenyum. “Ya, memang.”

“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”

“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku
hanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.

“Ah, ya. Calon.”

“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”

“Ya, ” gumamku enggan.

“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”

Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku
kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”

“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”

“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku,
aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”

“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?
Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”

“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia
menghindar sambil tertawa.

“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak
penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.

“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang
salah. Kalau saja,” aku terdiam.

“Apa?”

“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik
hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa
tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka
memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka
berbohong dan berkhianat.”

“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”

Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”

“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”

“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”

Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”

“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi
roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai,
mata tertutup, lidah terjulur.

“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”

Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya
pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”

“Aku tidak bisa, Dan.”



“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan.
Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara
kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”

“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum
mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi
sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.

“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa
ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang
waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat
pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya
seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”

“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupku
bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku
berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua,
aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri.
Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,
plus bodyguard kalau perlu.”

“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam.
“Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan
menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”

Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi
yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang
lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan
untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi
kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”

“Bagaimana dengan keturunan?”

“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,
kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya.
Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka.
Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku
sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada
kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang
hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku
akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan?
Untuk apa?”

Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”

“Kau terlalu banyak menonton film romantis ,” olokku. “Kau tahu berapa
lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”

“Berapa lama?”

“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan
imajinasi.”

“Imajinasi?”

“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci
sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah
dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”


“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang
harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”

“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.

“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang
membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”
Wajahnya serta-merta menjadi serius.

“Aku tidak menertawaimu. Kalau kau
benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah,
yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan
merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,
tertawalah. Tertawalah keras-keras.”

“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi,
Dan. Bukan ide-ide konyol.”

Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.

Minggu, 08 Juli 2012

Lebih Baik Telat Daripada Salah oleh Julianto Simanjuntak


1307540866939843217
ill. Google
John, seorang pria yang telah menikah dua tahun mengalami depresi yang berat. Ia merasa istrinya tidak lagi menghargai dirinya sebagai suami. Istrinya tidak tunduk pada keinginannya dalam segala hal. Beberapa keluhan sang suami antara lain: istrinya tidak bisa menabung, tidak taat beribadah, terlalu memberi perhatian pada keluarga sendiri, tidak pandai merawat anak. Istrinya mau menguasai, tidak melayani kebutuhan fisik suami, memaksa suami mengurus anak. Suami dicurigai main serong dengan pembantu, dan sebagainya.

Sementara itu Mary istrinya, mengalami tekanan yang sangat berat karena suaminya jarang di rumah. Suami sering mempersalahkan dia. Situasi rumah tangga seperti itu akhirnya membuat istrinya tidak tahan, lalu mengusir suaminya secara halus. Pria itupun tidak tahan lalu pergi meninggalkan istri dan merasa tidak akan kembali lagi.

Dalam pengalaman konseling terhadap kasus suami istri yang penuh konflik saya temukan salah satu penyebabnya adalah pernikahan yang tidak matang dan dipaksakan keadaan. Meski orang beralasan menikah karena cinta, namun sesungguhnya bukan cinta yang mendorong mereka menikah.

Lewat penelitian Lederer dan Jackson (1968) ditemukan bahwa ada beberapa alasan yang lebih dominan yang mendorong orang menikah, antara lain:
1. Karena adanya sentuhan fisik mendalam dan tekanan sosial (misalnya desakan dari orang tua).
2. Ada juga karena ingin lepas dari rasa kesepian dan mau lari lingkungan keluarga yang tidak bahagia (orang tua keras, kaku dan sering konflik).
3. Orang menikah hanya karena takut akan keadaan ekonomi di masa depan dan merasa dengan menikah hidup lebih lengkap (waspadai cinta “matre”).
4. Anda menikah karena faktor cinta neurosis. Ini adalah motif yang paling sulit disadari. Sebagai contoh, ada orang menikahdengan harapan secara simbolis pasangannya dapat menggantikan salah satu orang tua yang telah tiada.

Cinlok (Cinta Lokasi)
Banyak orang menikah dengan alasan saling mencintai, namun mereka memahami cinta hanya sebagai perasaan romantisme belaka. Artinya, hanya kebetulan ada perasaan attracted atau passion (khususnya kaum remaja yang sedang bertumbuh dalam hormon seksual, sehingga daya tarik seksual lebih kuat daripada daya tarik pribadi).

Misalnya melihat wajah cantik, kekayaan atau kepandaian; atau karena adanya kesempatan tertentu, karena sering ketemu kemudian muncul perasaan “cinta” (witing tresno jalaran soko kulino). Orang bilang “cinlok” alias cinta lokasi. Lama-kelamaan, ketika muncul kesadaran baru, ia merasa pacarnya sebenarnya tidak terlalu menarik. Tetapi karena sudah mengikatkan diri, sulit untuk mundur. Ironisnya, kalau ketemu orang lain yang lebih baik, cantik/ganteng dan menarik, mudah juga putus.

Jika engkau salah memilih dan akhirnya menghasilkan pernikahan yang buruk hanya merupakan tindakan “bunuh diri” dan mempersiapkan “neraka” untuk diri Anda dan keturunan Anda sendiri. Lebih ironis lagi tindakan Anda “membunuh” generasi ke atas.
Akhirnya bagi Anda yang sedang “merasa terlambat” mendapat teman hidup saya ingatkan, “Lebih baik terlambat daripada engkau salah memilih”. Bila salah mempersiapkan diri dan salah memilih biayanya terlalu mahal! Karena itu bijaklah bersahabat dan memilih calon teman hidup.

Diskusi:
1. Ceritakanlah dimana dan bagaimana perjumpaan Anda pertama kali dengan pacar Anda. Apa saja perasaan Anda saat itu?
2. Berapa lama usia pacaran yang menurut Anda baik? Kenapa?

Kamis, 21 Juni 2012

Suami Seperti Ini yang Layak Ditiru oleh A. Dardiri Zubairi


Saya punya seorang tetangga, seorang bapak dengan 3 anak dan 1 istri, yang sering jadi rujukan kami ketika bicara tanggung jawab seorang suami. Di lingkungan tetangga ia dikenal sangat sabar. Begitu sabarnya, malah sebagian tetangga kadang bilang “kasihan”.

Ia pekerja keras. Pekerjaan sebagai distributor buku mengharuskan ia keliling di daerah saya dengan sepeda motornya. Pagi berangkat, sore baru datang. Tetapi apakah ketika pulang kerja, ia menolak permintaan istri, misalnya, untuk mengantarkannya ke kota? Tidak. 15 km ke kota [pp berarti 30 km] tak ada masalah bagi dia. Ia antar istrinya. Habis mengantar istrinya, ia masih harus menggendong putra kecilnya, kadang jalan-jalan, kadang menyuapi makanan, kadang mengajak bermain, dsb.

Itulah pemandangan yang saya lihat setiap hari. Rutin. Kalau Cuma sekali mungkin kebetulan. Tapi ini tidak. Para tetangga –laki-laki atau perempuan—menjuluki dia sebagai suami yang sangat sabar.

Ada seorang tetangganya [kebetulan masih saudaranya] ketika anaknya masih kecil suka menangis di malam dini hari. Kalau nangis susah diamnya. Nah, bapak inilah yang menggendongnya kemana-mana kadang dari jam 01.00 sampai adzan subuh. Setiap kali anak ini nangis, bapak penyabar ini yang membantu menggendongnya.
Memang saya melihat kesabarannya luar biasa. Secapek apapun ia menyempatkan diri untuk keperluan istri, anak-anaknya, bahkan tetangganya. Ia melakukannya dengan tulus. Tak pernah saya melihat ia mengeluh.

Istrinya pernah ketika bercerita kepada saya, beberapa tahun lalu ia divonis oleh dokter akan mati dalam hitungan bulan karena menderita kanker rahim. Istrinya sudah pasrah. Tapi suaminya bangkit, “sudahlah jangan percaya sama ucapan dokter 100%. Allah yang memutuskan mati atau tidak”. Setiap saat bapak ini terus men-support istrinya, hingga istrinya bangkit juga untuk mencari jalan keluar.

Apa yang dilakukan bapak ini? Setiap dua hari bapak ini membawa istrinya menjalani pegobatan alternative kepada seseorang yang sangat terkenal di daerah saya. tempatnya jauh karena lintas kabupaten. Jaraknya sekitar 60 km [pp 120 km] dari rumah bapak ini. Bayangkan, setiap dua hari dengan naik sepeda motor bapak ini mengantar istrinya selama bertahun-tahun. Dan Alhamdulillah, kankernya sekarang sembuh.

Bapak ini memang berbeda dengan karakter istrinya yang sedikit keras. Tetangga kadang merasa kasihan, ketika melihat bapak ini sehabis pulang kerja setelah seharian naik motor, setiba di rumah masih diminta mengantar istrinya ke tempat yang jauh. Kadang bapak ini belum sempat istirahat.

Tapi bagi saya, justru di sinilah ketulusan bapak ini makin terang-benderang. Kesabarannya makin mengkilat seperti emas. Toh ia menjalaninya dengan enjoy. Kok saya dan tetangga yang usil. Begitu sabarnya, malah ada tetangga bilang, “wah suami kayak gini yang akan menghuni surga”. Kadang saya merasa malu, ketika kesabaran saya hilang, tiba-tiba istri saya nyeletuk, “kayaknya baba harus belajar kesabaran dari bapak itu tuh…

Hikmah yang bisa diambil, mengelola rumah tangga tak bisa dengan amarah, nafsu durjana, atau keinginan untuk saling mendominasi. Ketika satu marah, pasangan lain harus sabar. Keseimbangan ini perlu dijaga, agar rumah tangga tidak oleng. Kisah suami yang sangat penyabar ini mungkin bisa menjadi bahan renungan di mala mini. Tidak hanya bagi suami, juga bagi istri.

Matorsakalangkong
Sumenep, 14 juni 2012

Saya pernah menuliskan kisah sukses bapak ini di kompasiana, Sukses Berkat Cerdas EQ dan SQ.

Mujizat Perkawinan oleh Julianto Simanjuntak


1321311164252920821


Sesungguhnya keluarga kita adalah sebuah mujizat. Boleh dikatakan, keluarga adalah pemberian terindah dari semua yang kita miliki. Orangtua pemberi hidup, anak milik pusaka dan istri adalah kasih karunia.  Di dalamnya kita dilahirkan, dibesarkan dan mengenal kasih dan menikmati Anugerah” (JS)

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana Tuhan mempertemukan pria dan wanita, lantas menumbuhkan cinta di antara mereka? Pernahkah anda perhatikan Tiap pasangan memiliki cara masing-masing sehingga mereka akhirnya saling tertarik dan ingin selalu bersama seumur hidup.

MUJIZAT
Perkawinan adalah mujizat Allah yang terdiri atas anugerah, pemberian, dan penghiburan Ilahi. Kehadiran Tuhan dalam pernikahan dan keluarga kita  membuat  hidup sungguh  bermakna.
Pernikahan yang berbahagia memiliki aspek pertumbuhan di dalamnya. Pria dan wanita yang berasal dari planet berbeda ini berusaha hidup bersama, saling memahami, belajar mengampuni, dan bertumbuh. Lewat suka dan duka, untung dan malang.  Bukankah itu semua tidak terjadi jika mereka tidak hidup bersama dalam ikatan berkawinan?
Anak-anak yang lahir dalam sebuah pernikahan juga  mujizat. Mereka tidak hadir secara kebetulan. Ada maksud Allah yang Mahatinggi dalam tiap keluarga.
Orangtua kita adalah suatu anugerah mujizat. Bahkan hidup dan dibesarkan dalam sebuah keluarga juga sebuah mujizat. Tidak ada yang kebetulan dari kelahiran kita.
Bayangkan, bagaimana sepasang ayah-ibu belajar mengandalkan Tuhan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka! Alangkah tidak mudahnya mendidik anak di era ini. Betapa kita membutuhkan mujizat Allah agar anak-anak kita dapat mengerti rencana Allah dalam hidup mereka! Bergantung pada anugrahNya setiap hari.

DINAMIS
Dinamika yang terjadi dalam sebuah perkawinan bukan saja mengubah sistem keluarga, tetapi yang terutama adalah menumbuhkan  orang-orang yang ada di dalam institusi itu. Seperti kesaksian seorang Istri tentang suami dan perkawinannya.
“Kamu mengenalkan aku pada apa yang dinamakan cinta,” kata seorang wanita tentang pasangan hidupnya.
“Sebelum bertemu kamu, aku tertarik pada beberapa pria, tetapi sulit mengatakan bahwa aku mencintai mereka seperti perasaan yang aku miliki terhadapmu. Cintaku  tumbuh diawali oleh adanya rasa aman waktu berjalan bersamamu. Aku suka humormu, sikap melindungi dan perasaan istimewa yang kau hadirkan. Denganmu, aku menjadi wanita.”  Perkawinan itu membangun rasa percaya dan menerima orang lain apa adanya.
“Perubahan berikutnya yang terjadi dalam diriku adalah aku belajar mempercayakan diri dan masa depanku pada seorang pria yang sebenarnya aku tidak terlalu kenal,” kata wanita itu setelah membiarkan angan-angannya sejenak berkelana.
“Aku rasa itu sebabnya banyak kerikil tajam dan batu besar yang kita hadapi pada awal mulanya. Kalau aku ingat sekarang, aku heran juga bagaimana kau mau hidup dengan seorang wanita yang bossy, hampir tidak betah di rumah, dan hanya sedikit punya keinginan mengurus rumah. Lagipula, belum tentu aku bisa memberimu anak, berhubung adanya pendapat dokter tentang kandunganku. Tetapi kamu tidak meninggalkan aku dan sedia menghadapi risiko itu. Denganmu, aku diterima apa adanya.”
Salah satu hal penting yang kita pelajari dari pernikahan adalah mendorong orang yang kita cintai ke sebuah perubahan yang lebih baik.
Si wanita itu bersaksi lagi:
“Suamiku  memang luar biasa. Dia tahu, istrinya  suka membaca dan menulis. Lama-lama suamiku menyadari bahwa hobi ini sekedar untuk menutupi rasa aman palsu, karena dengan demikian aku  tidak perlu menjalin hubungan dengan orang lain. Dia menerima aku apa adanya”
Dia melanjutkan: “
“Suamiku melihat bahwa istrinya  memiliki beberapa keistimewaan yang masih bisa berkembang. Suamiku memberi arti yang berbeda tentang hobiku. Dia menolong aku untuk menuliskan masalah yang kami  hadapi sehingga menjadi bahan pembelajaran bagi orang lain. Ini hal baru buatku karena untuk melakukannya aku harus berhubungan dengan manusia. Ternyata, rasa aman di zona nyamanku ini perlu kubagi dengan orang lain.”

HARMONIS
Apakah artinya saling menghargai? Bagi beberapa orang istilah ini diartikan sebagai tidak melakukan kekerasan terhadap anak dan pasangan, saling menolong, tidak melecehkan.
Tetapi pernikahan memberi arti baru pada kata saling menghargai dan hidup harmoni, yaitu siap menanggung kesalahan pasangan dan tidak membiarkan pasangannya merasa malu di depan orang lain. Ortu menjadi pembela anak. Tidak hanya peduli pada anak yang baik-penurut, tetapi juga pada “anak yang hilang”, yang menjengkelkan.
Keluarga bisa menjadi Harmonis dengan cara menjalankan fungsi sebagai Ayah, Ibu, Anak, Suami dan istri dengan sebaik-baiknya. Seimbang antara menjalani kehidupan karir dan keluarga.

KATARSIS
Keluarga juga tempat paling asyik kita bisa ngobrol apa saja, curhat pada orangtua saat ada masalah dari sekolah. Idealnya suami menjadi tempat curhat istri, saat ada sakit di hati. Istri tempat suami bercerita seelah seharian berjuang di kantor.
Dalam istilah Freud, keluarga menjadi tempat kita katarsis. Boleh ngomong atau curhat apa saja yang mengganggu emosi kita. Karena itu anggota keluarga yang baik, perlu belajar menjadi pendengar yang baik, bersedia menjadi “keranjang sampah” bagi yang lain. Jika tidak, jangan heran anak atau pasangan kita mencarinya di tempat lain.

SUMBER RASA SYUKUR
Mengapa pernikahan itu anugerah istimewa yang selalu patut kita syukuri?
Pertama, pernikahan adalah inisiatif Tuhan sendiri. Dia membentuk manusia pertama, Adam dan memberikan Hawa menjadi istrinya. Allah memberi mereka mandat budaya untuk mengelola bumi ini.
Kedua,  keluarga adalah tempat lahir dan dibesarkannya orang-orang besar dan berguna. Para tokoh, pejuang, pahlawan, pemimpin dan pelayan masyarakat juga lahir dari sebuah keluarga. Dalam anugerah-Nya Tuhan memilih. Kita boleh jadi orang biasa saja saat ini. Tapi  Kita belum tahu bagaimana kelak keadaan anak-cucu kita. Seratus, empat ratus tahun mendatang, bisa saja lahir orang yang Dia pakai memberkati bangsa ini dari keturunan kita.
Ketiga,  perkawinan Itu   bersifat “trialog”. Tuhan hadir di dalam relasi suami-istri, Orangtua dan anak. Semua  melibatkan Tuhan dalam komunikasi mereka. Firman-Nya menjadi tolok ukur, standar nilai-nilai keluarga di tengah tantangan limpahnya media, internet dan sebagainya.
Keempat,  pasangan suami dan istri akan menjadi ayah dan ibu. Ini merupakan jabatan istimewa, posisi yang tak tergantikan.  Banyak orang dapat menggantikan tugas kita sebagai guru, pembicara, atau direktur perusahaan. Tetapi tidak seorang pun yang dapat menjadi ayah dan ibu bagi anak-anak kita, menggantikan posisi suami bagi istri kita atau menjadi istri bagi suami kita.
Kelima,  beberapa penelitian membuktikan, bahwa perkawinan yang sehat dapat menjadi pemulihan hidup dari trauma masa lalu. Keluarga yang intim menjadi benteng stres kehidupan, menjadikan hidup orang yang menikmatinya, sehat serta produktif.
Keenam,   fungsi-fungsi dalam keluarga berdampak kekal. Kelak, di hari penghakiman-Nya kita semua berdiri dihadapan Tuhan Hakim yang Adil. termasuk anak dan pasangan kita. KIta perlu menyiapkan keluarga kita untuk menghadapi kekekalan. Semoga  kita tidak disibukkan hanya untuk kekinian, sampai lupa keluarga.

PENUTUP
Boleh dikatakan, keluarga adalah pemberian terindah dari semua yang kita miliki. Orangtua pemberi hidup, anak milik pusaka dan istri adalah kasih karunia.  Di dalamnya kita dilahirkan, dibesarkan dan mengenal kasih dan menikmati Anugerah-Nya.
Semoga bermanfaat