Minggu, 08 Juli 2012

Lebih Baik Telat Daripada Salah oleh Julianto Simanjuntak


1307540866939843217
ill. Google
John, seorang pria yang telah menikah dua tahun mengalami depresi yang berat. Ia merasa istrinya tidak lagi menghargai dirinya sebagai suami. Istrinya tidak tunduk pada keinginannya dalam segala hal. Beberapa keluhan sang suami antara lain: istrinya tidak bisa menabung, tidak taat beribadah, terlalu memberi perhatian pada keluarga sendiri, tidak pandai merawat anak. Istrinya mau menguasai, tidak melayani kebutuhan fisik suami, memaksa suami mengurus anak. Suami dicurigai main serong dengan pembantu, dan sebagainya.

Sementara itu Mary istrinya, mengalami tekanan yang sangat berat karena suaminya jarang di rumah. Suami sering mempersalahkan dia. Situasi rumah tangga seperti itu akhirnya membuat istrinya tidak tahan, lalu mengusir suaminya secara halus. Pria itupun tidak tahan lalu pergi meninggalkan istri dan merasa tidak akan kembali lagi.

Dalam pengalaman konseling terhadap kasus suami istri yang penuh konflik saya temukan salah satu penyebabnya adalah pernikahan yang tidak matang dan dipaksakan keadaan. Meski orang beralasan menikah karena cinta, namun sesungguhnya bukan cinta yang mendorong mereka menikah.

Lewat penelitian Lederer dan Jackson (1968) ditemukan bahwa ada beberapa alasan yang lebih dominan yang mendorong orang menikah, antara lain:
1. Karena adanya sentuhan fisik mendalam dan tekanan sosial (misalnya desakan dari orang tua).
2. Ada juga karena ingin lepas dari rasa kesepian dan mau lari lingkungan keluarga yang tidak bahagia (orang tua keras, kaku dan sering konflik).
3. Orang menikah hanya karena takut akan keadaan ekonomi di masa depan dan merasa dengan menikah hidup lebih lengkap (waspadai cinta “matre”).
4. Anda menikah karena faktor cinta neurosis. Ini adalah motif yang paling sulit disadari. Sebagai contoh, ada orang menikahdengan harapan secara simbolis pasangannya dapat menggantikan salah satu orang tua yang telah tiada.

Cinlok (Cinta Lokasi)
Banyak orang menikah dengan alasan saling mencintai, namun mereka memahami cinta hanya sebagai perasaan romantisme belaka. Artinya, hanya kebetulan ada perasaan attracted atau passion (khususnya kaum remaja yang sedang bertumbuh dalam hormon seksual, sehingga daya tarik seksual lebih kuat daripada daya tarik pribadi).

Misalnya melihat wajah cantik, kekayaan atau kepandaian; atau karena adanya kesempatan tertentu, karena sering ketemu kemudian muncul perasaan “cinta” (witing tresno jalaran soko kulino). Orang bilang “cinlok” alias cinta lokasi. Lama-kelamaan, ketika muncul kesadaran baru, ia merasa pacarnya sebenarnya tidak terlalu menarik. Tetapi karena sudah mengikatkan diri, sulit untuk mundur. Ironisnya, kalau ketemu orang lain yang lebih baik, cantik/ganteng dan menarik, mudah juga putus.

Jika engkau salah memilih dan akhirnya menghasilkan pernikahan yang buruk hanya merupakan tindakan “bunuh diri” dan mempersiapkan “neraka” untuk diri Anda dan keturunan Anda sendiri. Lebih ironis lagi tindakan Anda “membunuh” generasi ke atas.
Akhirnya bagi Anda yang sedang “merasa terlambat” mendapat teman hidup saya ingatkan, “Lebih baik terlambat daripada engkau salah memilih”. Bila salah mempersiapkan diri dan salah memilih biayanya terlalu mahal! Karena itu bijaklah bersahabat dan memilih calon teman hidup.

Diskusi:
1. Ceritakanlah dimana dan bagaimana perjumpaan Anda pertama kali dengan pacar Anda. Apa saja perasaan Anda saat itu?
2. Berapa lama usia pacaran yang menurut Anda baik? Kenapa?