Sabtu, 02 Maret 2013

Setelah Kau Menikahiku 4

“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan
memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”

Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak
setiap pagi.”

“Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu.”

“Jangan,” Idan menggeleng.

“Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”

“Jadi?”

Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?”
pintanya.“Aku punya rice cooker.”

Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah
permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya?
Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya
jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.

“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”

Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin
merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di
dinding dapur.

“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah
keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.


“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya.

“Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”

Dahiku berkerut. “Untuk apa?”

“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”

Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku
sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”

“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”

“Kau kedengaran seperti diktator.”

“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”

“Itu terlalu banyak untukku.”

Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa
kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah
membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.

“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak
punya hak untuk mengaturku seperti itu.”

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih.
Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap.
“Baik. Kalau itu maumu” desisnya kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar