Sabtu, 02 Maret 2013

Setelah Kau Menikahiku -Bagian 2

Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati.
“Pit, aku tahu ini akan
kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa
menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras
laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”
Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik
seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata
kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.

“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting,
jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”

Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama
puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam
lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak
berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku,
sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari
depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia
yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.

“Ya. Aku percaya kepadamu.”

“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk
kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat
terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”

“Idan! ” potongku tandas. “Ide apa?”

“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. 
“Kita akan
melakukan pernikahan.”

“Apa?”

“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan
semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”

“Bulan madu?”

Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam,

”Simulasi”.

Sekali lagi, simulasi. 

Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu
berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa
yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita
bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau
ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa
cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk
melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa
penalti. Bagaimana?”

“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”

“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan
mantap.

“Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar
seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh
menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku,
yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh
pendirian….”

“Serius, Idan, serius!”

“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan
mengalami kerugian apa pun.”

“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”

“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar