Sabtu, 02 Maret 2013

Setelah Kau Menikahiku - Bagian 1

Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk
membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi
pernikahan.

"Ku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?”

Aku mengangguk cemberut.

“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.

“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke
kamar.”

Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.

“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan
alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi
ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah
pada usia tiga puluh tiga.”

“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”
komentarku.

Alis Idan terangkat. “Kenapa?”

“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”

“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”

“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya
kesulitan?”

“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara
keuntungannya lebih banyak?”

“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu
tentang keuntungan menikah.”

“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh
lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”

“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup
pelik tanpa perlu lagi menikah?”

Idan tersenyum. “Ya, memang.”

“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”

“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku
hanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.

“Ah, ya. Calon.”

“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”

“Ya, ” gumamku enggan.

“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”

Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku
kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”

“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”

“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku,
aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”

“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?
Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”

“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia
menghindar sambil tertawa.

“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak
penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.

“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang
salah. Kalau saja,” aku terdiam.

“Apa?”

“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik
hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa
tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka
memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka
berbohong dan berkhianat.”

“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”

Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”

“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”

“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”

Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”

“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi
roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai,
mata tertutup, lidah terjulur.

“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”

Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya
pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”

“Aku tidak bisa, Dan.”



“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan.
Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara
kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”

“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum
mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi
sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.

“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa
ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang
waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat
pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya
seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”

“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupku
bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku
berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua,
aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri.
Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,
plus bodyguard kalau perlu.”

“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam.
“Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan
menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”

Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi
yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang
lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan
untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi
kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”

“Bagaimana dengan keturunan?”

“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,
kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya.
Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka.
Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku
sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada
kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang
hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku
akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan?
Untuk apa?”

Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”

“Kau terlalu banyak menonton film romantis ,” olokku. “Kau tahu berapa
lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”

“Berapa lama?”

“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan
imajinasi.”

“Imajinasi?”

“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci
sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah
dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”


“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang
harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”

“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.

“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang
membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”
Wajahnya serta-merta menjadi serius.

“Aku tidak menertawaimu. Kalau kau
benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah,
yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan
merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,
tertawalah. Tertawalah keras-keras.”

“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi,
Dan. Bukan ide-ide konyol.”

Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar